Penyakit GERD, atau Gastroesophageal Reflux Disease, adalah kondisi medis yang semakin umum di Indonesia. Dengan peningkatan pola hidup modern dan perubahan kebiasaan makan, jumlah penderita penyakit ini terus meningkat setiap tahunnya. Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan RI, sekitar 4,9% penduduk Indonesia mengalami gejala GERD, dengan dominasi usia dewasa muda antara 26 hingga 45 tahun. Meski tidak selalu menunjukkan gejala nyata, kondisi ini dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya secara signifikan.
GERD terjadi ketika isi lambung naik ke kerongkongan akibat melemahnya otot sfingter esofagus bagian bawah. Kondisi ini sering disalahpahami sebagai maag, meskipun keduanya memiliki perbedaan yang jelas. Gejala seperti heartburn dan regurgitasi sering menjadi tanda utama GERD, sementara maag lebih berkaitan dengan gangguan pencernaan dan rasa mual. Penting untuk memahami perbedaan ini agar bisa melakukan pengobatan yang tepat.
Diagnosis GERD biasanya dilakukan melalui kuesioner sederhana atau pemeriksaan medis lanjutan seperti endoskopi dan pemantauan pH kerongkongan. Pengobatan GERD bisa berupa perubahan gaya hidup, obat-obatan, atau tindakan medis jika diperlukan. Jika tidak ditangani dengan baik, GERD dapat menyebabkan komplikasi serius seperti esofagitis erosif dan esofagus Barrett yang berpotensi berkembang menjadi kanker.
Penyebab Umum GERD
Beberapa faktor risiko yang sering terkait dengan munculnya GERD antara lain:
- Konsumsi makanan asam, pedas, atau berlemak tinggi: Makanan jenis ini dapat memicu produksi asam lambung berlebih dan melemahkan otot sfingter.
- Minum alkohol atau kafein: Minuman berkafein seperti kopi dan teh, serta alkohol, dapat mengganggu fungsi otot sfingter.
- Kebiasaan tidur setelah makan: Tidur dalam waktu singkat setelah makan meningkatkan risiko asam lambung naik ke kerongkongan.
- Stres dan kurang tidur: Stres kronis dan insomnia dapat memperburuk gejala GERD.
- Merokok atau paparan asap rokok: Asap rokok mengandung zat yang melemahkan otot sfingter dan meningkatkan risiko refluks asam.
- Obesitas: Kelebihan berat badan meningkatkan tekanan pada lambung, sehingga memicu GERD.
Menurut studi terbaru oleh Universitas Indonesia (2024), 78% penderita GERD mengaku memiliki kebiasaan makan tidak sehat, termasuk konsumsi junk food dan minuman berkafein. Hal ini menunjukkan bahwa pola hidup sangat berpengaruh terhadap kemunculan penyakit ini.
Gejala yang Harus Diwaspadai
Gejala GERD tidak selalu sama pada setiap individu, tetapi beberapa gejala umum yang sering dialami antara lain:
- Heartburn: Sensasi terbakar di dada yang sering salah diidentifikasi sebagai nyeri jantung.
- Regurgitasi: Isi lambung naik ke mulut, menyebabkan rasa asam atau pahit.
- Batuk kronis: Refluks asam lambung dapat merangsang saluran pernapasan.
- Sesak napas atau asma: Kondisi ini sering terjadi karena iritasi pada saluran pernapasan.
- Nyeri dada: Bisa disalahartikan sebagai serangan jantung.
- Suara serak: Akibat iritasi pada pita suara.
Sebuah laporan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2025 menyebutkan bahwa 30% pasien GERD mengalami gejala batuk kronis yang memengaruhi aktivitas harian mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya diagnosis dini dan pengelolaan yang tepat.
Perbedaan GERD dengan Maag
Meskipun banyak orang mengira GERD sama dengan maag, kedua kondisi ini memiliki perbedaan signifikan. Maag lebih berkaitan dengan gangguan pencernaan, seperti mual, kembung, dan rasa sakit di area ulu hati. Sementara itu, GERD berkaitan dengan refluks asam lambung ke kerongkongan dan organ lainnya. Gejalanya juga lebih luas, termasuk masalah saluran pernapasan dan mulut.
Menurut dr. Adeline Intan Pratiwi Pasaribu, Sp.PD, spesialis penyakit dalam, “Pemahaman tentang perbedaan ini sangat penting agar pasien tidak mengambil pengobatan yang salah.” Ia menekankan bahwa pengobatan GERD biasanya melibatkan penggunaan obat anti-asam dan perubahan gaya hidup, sedangkan maag lebih fokus pada pengaturan diet dan pengobatan simptomatik.
Diagnosis GERD
Diagnosis GERD dapat dilakukan melalui beberapa metode, antara lain:
- Kuesioner GERD-Q: Alat sederhana untuk menilai risiko GERD berdasarkan gejala yang dialami.
- Endoskopi saluran cerna atas: Prosedur medis yang menggunakan alat khusus untuk memeriksa kondisi kerongkongan dan lambung.
- Pemantauan pH kerongkongan: Metode yang digunakan untuk mengukur kadar asam lambung di kerongkongan.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Indonesian Journal of Internal Medicine (2025) menunjukkan bahwa 65% pasien GERD mendapatkan diagnosis melalui endoskopi, terutama jika gejala sudah parah. Pemantauan pH kerongkongan juga menjadi metode yang efektif untuk mengidentifikasi keberadaan asam lambung yang tidak terdeteksi oleh gejala biasa.
Pengobatan GERD
Pengobatan GERD terdiri dari tiga tahap utama:
- Perubahan gaya hidup:
- Menghindari makanan dan minuman yang memicu asam lambung.
- Menjaga berat badan ideal.
- Tidur dengan posisi kepala lebih tinggi.
-
Berhenti merokok dan menghindari paparan asap rokok.
-
Obat-obatan:
- Antasida: Untuk mengurangi asam lambung.
- Inhibitor pompa proton (PPI): Obat yang mengurangi produksi asam lambung.
-
Penghambat H2: Digunakan untuk mengurangi gejala jangka pendek.
-
Tindakan medis:
- Fundoplikasi: Operasi untuk memperkuat otot sfingter.
- Bypass lambung: Dilakukan pada pasien dengan obesitas dan GERD yang parah.
Menurut data dari Rumah Sakit Siloam Jakarta (2025), sebanyak 40% pasien GERD berhasil pulih sepenuhnya setelah menjalani perubahan gaya hidup dan pengobatan dasar. Namun, bagi pasien dengan gejala berat, tindakan medis seperti fundoplikasi sering kali menjadi solusi terbaik.
Risiko Jika GERD Tidak Diobati
Jika GERD tidak segera ditangani, kondisi ini dapat berkembang menjadi penyakit kronis yang berpotensi menyebabkan komplikasi serius. Beberapa risiko utama meliputi:
- Esofagitis erosif: Luka pada kerongkongan akibat iritasi asam lambung.
- Esofagus Barrett: Perubahan sel pada kerongkongan yang meningkatkan risiko kanker esofagus.
- Striktur esofagus: Penyempitan kerongkongan akibat luka kronis.
- Asma atau sesak napas: Akibat iritasi saluran pernapasan.
Sebuah laporan dari World Gastroenterology Organization (WGO) tahun 2025 menyebutkan bahwa 15% pasien GERD yang tidak tertangani dengan baik mengalami komplikasi serius dalam waktu lima tahun. Ini menunjukkan pentingnya diagnosis dini dan pengobatan yang tepat.
Kesimpulan
GERD adalah penyakit yang cukup umum di Indonesia, tetapi dapat dicegah dan diobati jika diketahui secara dini. Dengan memahami gejala, penyebab, diagnosis, dan pengobatan yang tepat, penderita GERD dapat menjalani kehidupan yang lebih nyaman. Jika Anda mengalami gejala yang mencurigakan, segera konsultasikan dengan dokter spesialis penyakit dalam untuk mendapatkan penanganan yang optimal.
Untuk informasi lebih lanjut tentang GERD, kunjungi sumber resmi dari National Center for Biotechnology Information (NCBI).
Komentar