Kolom
Beranda » Berita » Akademisi dan Ghostwriter: Kompromi atau Distorsi Intelektual?

Akademisi dan Ghostwriter: Kompromi atau Distorsi Intelektual?

Harry Yulianto

Penulis : Harry Yulianto (Akademisi STIE YPUP Makassar)

Di rak perpustakaan kampus, buku-buku tebal berlabel nama dosen dengan rapi. Tapi siapa sangka, sebagian dari karya itu bukanlah hasil tangan mereka sendiri?

Jasa Backlink

Di balik judul-judul megah, seringkali ada sosok tidak terlihat “ghostwriter”. Fenomena tersebut bukan rahasia, namun jarang diakui.

Di Hari Buku Nasional (diperingati setiap 17 Mei sebagai momentum untuk mengingatkan pentingnya budaya membaca), ketika semangat literasi digaungkan, pertanyaan mendesak muncul: “Apakah kolaborasi akademisi-ghostwriter sekadar kompromi pragmatis, atau bentuk distorsi intelektual?

Tekanan “Publish or Perish” dan Budaya Instan

Ketaqwaan Intelektual: Sintesis Makna Idul Adha dan Tanggung Jawab Akademik

Pada dunia akademik yang kompetitif, menulis buku merupakan kewajiban sekaligus beban. Dosen tidak hanya dituntut mengajar dan meneliti, tetapi juga menerbitkan buku sebagai syarat kenaikan jabatan atau akreditasi kampus.

Namun, sistem ini sering kali mengorbankan kualitas. Beberapa dosen mengakui “kesulitan waktu” untuk menulis buku mandiri, sementara lainnya ada yang menggunakan jasa ghostwriter.

Di sinilah ghostwriter masuk sebagai “penyelamat”. Mereka menawarkan jasa mulai dari menyusun kerangka bab, mengutip referensi, hingga menulis seluruh naskah, dengan tarif yang beragam per buku.

Sebagian akademisi merasa ini solusi win-win, dimana kampus senang karena target administratif terpenuhi, sedangkan ghostwriter mendapat upah.

Tapi di balik transaksi tersebut, ada harga mahal yang dibayar: “integritas intelektual dan keilmuan”.

Ruang Upgrading Tegaskan Komitmen Bangkitkan Generasi Intelektual Berjiwa Kebangsaan

Ghostwriter: Mitra atau Perusak Orisinalitas?

Argumentasi pragmatis yang sering kali dikemukakan, antara lain: “Saya yang punya ide, ghostwriter hanya membantu merapikan.” “Ini buku ajar, tidak perlu terlalu akademis.” “Semua orang melakukannya, kenapa saya tidak?”

Padahal, esensi menulis buku akademik bukan hanya menghasilkan teks, melainkan proses kristalisasi pemikiran intelektual.

Ketika ghostwriter mengambil alih peran penulis, terjadi disonansi antara konten dan kapasitas keilmuan sang akademisi. Bahkan ada, di mana seorang dosen gagal menjelaskan konsep dalam bukunya sendiri ketika ditanya mahasiswanya, karena tidak benar-benar memahami apa yang “ditulisnya”.

Lebih parah lagi, praktik ini melahirkan “buku-buku instan” yang miskin kedalaman intelektual, hanya menggabungkan potongan artikel atau menjiplak sumber lain tanpa menyertakan sumber referensinya.

Kesenjangan Digital dan Kewirausahaan Inklusif: Memastikan Peluang yang Merata di Era Teknologi

Di Hari Buku Nasional, yang seharusnya merayakan kemajuan literasi, namun justru menyaksikan inflasi karya intelektual yang mendistorsi martabat ilmu.

Distorsi yang Tersistemisasi

Yang mengkhawatirkan, penggunaan ghostwriter tidak selalu inisiatif individu. Bahkan, ada “pabrik buku institusional” yang mempekerjakan tim penulis bayangan untuk memproduksi buku atas nama dosen.

Motifnya beragam, seperti: mengejar akreditasi, meningkatkan reputasi, atau proyek pencitraan. Bahkan ada perguruan tinggi yang dalam waktu 3 bulan, telah terbit 30 buku untuk meningkatkan poin akreditasi, padahal mayoritas ditulis oleh ghostwriter yang direkrut kampus.

Ironisnya, buku-buku tersebut kemudian dipajang pada seremonial Hari Buku Nasional sebagai “prestasi literasi”.

Kompromi yang Bisa Dimaafkan?

Tidak semua penggunaan ghostwriter bermasalah. Ada kondisi di mana kolaborasi dapat diterima secara etis, seperti: buku popular (akademisi sebagai ahli konten, ghostwriter sebagai penulis yang menyederhanakan bahasa untuk publik), keterbatasan fisik (dosen senior dengan kondisi kesehatannya yang membutuhkan asisten penulis), meupun atribusi jelas (nama ghostwriter dicantumkan sebagai ko-penulis atau editor).

Namun, realitanya, sebagian besar kolaborasi akademisi-ghostwriter dilakukan secara terselubung. Tidak ada transparansi, tidak ada penghargaan untuk sang penulis bayangan. Hal tersebut bukanlah kompromi, melainkan “eksploitasi intelektual”.

Hari Buku Nasional: Momentum Mengembalikan Marwah Penulisan

Di peringatan Hari Buku Nasional, dunia akademik harus berani berefleksi dengan cara: tranformasi kebijakan kampus (menghapus persyaratan penerbitan buku secara kuantitatif, namun menggantinya dengan penilaian kualitas dan dampak karya), sertifikasi ghostwriter (bekerja sama dengan organisasi profesi untuk membuat standar kolaborasi yang transparan dan beretika), serta pendampingan menulis (kampus perlu menyediakan pelatihan penulisan buku, akses ke editor profesional, dan pengurangan beban mengajar bagi dosen yang serius menulis).

Menulis adalah Tanggung Jawab Moral

Buku akademik bukan hanya sekumpulan halaman berjilid, namun janji kejujuran intelektual, sebuah ikrar bahwa sang penulis bertanggung jawab penuh atas setiap kata di dalamnya.

Menggunakan ghostwriter secara sembunyi-sembunyi bukanlah kompromi, melainkan “pengkhianatan terhadap spirit intelektual”.

Di Hari Buku Nasional, mari kita tinggalkan budaya instan. Sebab, bangsa yang besar tidak dibangun oleh buku-buku yang ditulis “hantu” secara instan, nemun oleh pemikiran orisinal yang lahir dari kesungguhan ilmu dan tanggung jawab moral akademisi.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement