Penulis : Harry Yulianto, Akademisi STIE YPUP Makassar
Grup alumni mendadak hidup. Notifikasi WhatsApp penuh dengan sapaan “Hai”, “Lama tak jumpa!”, maupun foto-foto lawas yang mengundang canda tawa. Suasana hangat dan riuh seolah membawa kembali ke masa paling cerah dalam hidup. Siapa yang tidak senang diajak bernostalgia?
Di balik keriangan yang tampak polos, tersembunyi sebuah pola yang akrab, namun sering diabaikan dan menjadi fenomena faktual. Interaksi yang bermula hanya di ruang publik, secara perlahan namun pasti mencari gap untuk menyusuri ke ruang yang lebih privat. Kata yang dimulai dari candaan ringan di grup, dapat berubah menjadi percakapan yang mulai mencurigakan. Orang sering terbuai, dan menganggapnya sebagai hal yang “wajar”.
Pada titik inilah harus jujur: perjalanan dari sekadar “Hai” di grup alumni, menjadi “Sayangku” di chat pribadi bukanlah sebuah kebetulan. Namun, bentuk skenario klasik perselingkuhan modern yang terlihat halus. Sebuah jalan berbahaya yang justru dimulai dari langkah kecil yang dianggap trivial.
Interaksi Awal di Ruang Publik
Fase ini selalu dimulai dengan hal-hal yang tampak biasa. Sebuah kalimat sapaan, “Hai, lama tidak jumpa!” yang polos, komentar “Kamu tidak berubah ya” di bawah foto terbaru, atau tag nama di meme lucu yang mengingatkan pada kenangan spesifik berdua. Semuanya terlihat seperti dinamika grup alumni yang wajar, bahkan menyenangkan. Namun, di balik kesan “santai” tersebut, benih-benih “perhatian selektif” mulai disemaikan.
Interaksi kecil-kecilan secara perlahan membangun kembali keakraban yang telah lama “tertidur”. Ketika seseorang secara konsisten merespons atau memberi “perhatian khusus” pada postingan, maka timbul perasaan diistimewakan di tengah keramaian grup. Seperti kata filsuf Simone de Beauvoir (The Prime of Life, 1960), “Perubahan hidup yang paling kaya bukanlah perubahan tempat, melainkan perubahan hubungan dengan orang-orang di sekitar kita“. Bukankah kita sering lupa bahwa keakraban yang dibangun kembali, dapat menggeser pola relasi nyata yang sudah ada?
Di sinilah, nostalgia mulai bekerja sebagai gerbang emosional. Kenangan masa lalu yang dibangkitkan bukan lagi hanya cerita kolektif, melainkan menjadi pengalaman kemesraan berdua. Setiap ingatan yang diungkit kembali, bagaikan membuka pintu yang lama tertutup, disusupi rasa penasaran akan “bagaimana jika”. Pertanyaannya, “Sadarkah kita bahwa pintu yang terbuka ini, dapat mengarah ke jalan yang tidak pernah diduga?”
Pergeseran ke Ruang Privat
Trigger pertama ke ruang privat, sering kali dibungkus dengan dalil yang tidak terbantahkan. Sebuah pesan “Bisa chat privat? Mau tanya sesuatu” terlihat begitu logis dan tidak berbahaya. Atau pancingan nostalgia melalui chat “Kita dulu sering ke tempat itu, ingat nggak?” yang sengaja dibuat eksklusif untuk berdua. Bukan kita sering mengabaikan bagaimana alasan-alasan “wajar” tersebut, justru menjadi jembatan menuju “zona berbahaya”?
Tidak kalah halus, pujian spesifik seperti “Foto kamu di pantai itu lagi apa sih? Lucu banget” menjadi kode untuk membuka komunikasi yang lebih jauh. Psikolog John Gottman (The Seven Principles for Making Marriage Work, 1999) dalam risetnya tentang pernikahan mengingatkan, “Perselingkuhan dimulai bukan di kamar tidur, tetapi dalam percakapan-percakapan kecil yang dirahasiakan“. Setiap pujian yang sengaja dipindahkan ke ruang privat (DM), dapat menjadi percakapan kecil yang mulai dirahasiakan dari pasangannya.
Begitu percakapan berpindah ke ruang privat, maka terjadi pergeseran dramatis yang hampir tidak terelakkan. Topik obrolan yang semula ringan, berubah menjadi curhat pribadi. Nuansa percakapan berubah dari “teman lama”, menjadi laksana “seseorang yang akhirnya mengerti”. Batas antara masa lalu dan masa kini pun, mulai memudar.
Di balik layar ponsel yang ibarat memberikan rasa aman, pseudo-intimacy (keintiman semu) mulai tumbuh subur. Setiap pesan yang dikirim dan diterima secara diam-diam, akan menciptakan ikatan rahasia yang mengikis komitmen nyata secara perlahan. Sadarkah bahwa apa yang dianggap sebagai “hubungan spesial” sebenarnya perselingkuhan emosional, sedang dalam tahap inkubasi?
Apa yang terjadi sebenarnya merupakan sebuah “kecelakaan kimiawi” di logika. Interaksi yang menggembirakan di grup alumni memicu pelepasan dopamin, neurotransmitter yang terkait dengan rasa antisipasi dan hadiah. Ketika percakapan berpindah ke ruang privat dan menjadi rahasia, maka pikiran akan melepaskan oksitosin, hormon ikatan dan kepercayaan, yang intensitasnya jauh lebih tinggi pada konteks yang tertutup dan eksklusif.
Kombinasi dopamin dan oksitosin yang menciptakan suatu “koktail neurokimia” yang sangat adiktif. Perasaan “spesial” dan “terhubung” yang dirasakan itu terasa nyata secara biologis, tetapi fondasinya palsu, karena dibangun di atas kenangan lama dan kondisi yang direkayasa, bukan pada realitas komitmen sehari-hari. Inilah mengapa seseorang bisa merasa begitu dekat dan berani hanya dalam hitungan hari, sebuah ilusi kedekatan yang dipercepat secara kimiawi.
“Zona Abu-Abu” dan Eskalasi Pseudo-Intimacy
Percakapan yang mulai bergeser dari mengenang masa lalu, ke mengeluhkan masa kini. Keluhan kecil tentang pasangan ataupun perasaan kesepian mulai ditumpahkan ke “teman lama”. Obrolan yang pada awalnya hanya nostalgia, berubah menjadi zona pelarian dari realitas hubungan yang dijalaninya.
Setiap keluhan yang disambut dengan empati, maka akan semakin mengukuhkan peran “pendengar setia”. Filsuf Søren Kierkegaard (1843) pernah memperingatkan, “Kehidupan hanya bisa dipahami bukan dengan melihat ke belakang, tetapi harus dijalani dengan melihat ke depan“. Namun dalam “zona abu-abu”, justru terjebak memandang ke belakang, dengan melarikan diri dari tanggung jawab masa kini.
Di sinilah, eskalasi pseudo-intimacy mulai bersemi. Perasaan “lebih dimengerti” oleh “teman lama” daripada oleh pasangan sendiri, menjadi ketergantungan patologis yang sangat berbahaya. Ilusi kedekatan emosional, akan tumbuh subur dalam ruang chat yang tersembunyi.
Seperti kata psikolog Esther Perel (The State of Affairs, 2017), “Perselingkuhan bukan tentang mencari orang lain, melainkan mencari versi diri yang lain“. Pseudo-intimacy menawarkan fantasi tentang diri sendiri yang lebih dicintai dan dipahami, meskipun hanya berlangsung dalam “fatamorgana” pesan singkat di ruang privat.
Indikasi paling nyata yang melampaui batas yakni perubahan panggilan. Dari sekadar menyebut nama, tiba-tiba berubah menjadi “Sayang” atau “Dear” yang terasa “spontan”. Sapaan mesra menjadi penanda verbal bahwa hubungan telah memasuki “zona terlarang”.
Setiap kata “Sayangku” yang diucapkan menjadi bom waktu emosional. Ketika panggilan mesra sudah menjadi kebiasaan, maka bukankah sebenarnya secara langsung dan sadar sedang membangun hubungan paralel yang suatu ketika akan bersimpangan dengan relasi nyata?
Mengapa Pola Pseudo-Intimacy Sangat Berbahaya?
Pseudo-intimacy dengan pola rasa aman yang palsu sangatlah berbahaya, karena dimulai dari zona yang terasa aman dan normal. Siapa yang akan mencurigai dinamika grup alumni atau obrolan menjelang reuni? Lengah karena menganggapnya sebagai silaturahmi biasa, dan tidak menyadari bahwa jebakan emosional, sering kali bersembunyi di balik hal-hal yang dianggap nampak “lumrah”.
Efek “pelan-pelan” dan “lumrah” menjadi sifat paling licin dan licik dari perselingkuhan modern: ia tidak datang tiba-tiba, tetapi menyusup melalui percakapan sehari-hari. Filsuf Tiongkok, Lao Tzu (Tao Te Ching, abad ke-6 SM) mengingatkan, “Perjalanan seribu mil, dimulai dari satu langkah kecil“. Perselingkuhan emosional pun dimulai dari satu pesan “Hai” yang dianggap remeh, kemudian bertahap mengikis batas moral dan logika tanpa disadarinya.
Semuanya terjadi dalam kesunyian, di balik layar ponsel yang seolah menjadi dunia privat. Tidak ada saksi, tidak ada yang menegur, namun yang ada hanya ruang untuk membenarkan diri sendiri dan melanjutkan pseudo-intimacy. Bagaimana mungkin bisa objektif, ketika setiap pesan yang dibaca dan dibalas dalam ruang hampa, tanpa melibatkan sudut pandang lainnya?
Bahaya paling kejam dari pseudo-intimacy justru pada pihak yang tidak terlibat sama sekali: pasangan yang sah. Mereka tidak hanya dikhianati, tetapi juga menjadi korban dari sebuah “pencurian”. Seperti dijelaskan psikolog Sheri Keffer (Psychology Today, 2014), yang membahas tentang “emotional theft” (pencurian emosional). Konsep yang menggambarkan bagaimana waktu, perhatian, dan energi emosional yang seharusnya adalah hak pasangan, telah ‘dicuri’ dan dialihkan untuk “teman lama” melalui chat pribadi.
Luka yang ditinggalkan oleh perselingkuhan emosional sering kali lebih mendalam dan lebih sulit disembuhkan, apabila dibandingkan perselingkuhan fisik, karena yang direnggut adalah ikatan batin dan kepercayaan. Ketika satu pihak sibuk membangun dunia rahasianya, maka pihak lain akan hidup dalam realitas yang semakin menyepi, tanpa tahu mengapa hubungannya tiba-tiba terasa hampa.
Menjaga Kesadaran Batas Diri
Pertahanan terkuat adalah kesadaran. Mari jujur mengakui bahwa pola “dari grup alumni ke privat (DM)” adalah faktual dan bisa menimpa siapa saja. Sebelum terlanjur, bertanyalah pada diri sendiri, “Apakah interaksi ini masih dalam koridor silaturahmi, atau sudah mulai cenderung ke zona berbahaya?” Mengenali pola pseudo-intimacy sejak dini menjadi bentuk pertahanan diri yang paling bijaksana.
Menjaga batas diri yang paling tegas adalah benteng terakhir. Jika niatnya hanya silaturahmi, maka tidak perlu memindahkan obrolan ke ruang privat. Seperti kata psikolog Viktor Frankl (Man’s Search for Meaning, 1946), “Di antara stimulus dan respons, terdapat ruang. Di ruang itulah terletak kebebasan dan kekuatan untuk memilih respons“. Di ruang tersebut, bisa memilih untuk berhenti, sebelum melangkah terlalu jauh.
Relasi yang dibangun di atas komitmen yang dilukai, ibaratkan istana pasir yang akan hancur diterjang realita. Fantasi romantis dengan “teman lama” tidak akan pernah sebanding dengan nilai komitmen nyata yang telah dibangun bertahun-tahun. Allah SWT telah mengingatkan dalam QS. Al-Isra’ ayat 32, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Ayat ini mengajak semuanya untuk tidak hanya menjauhi perbuatan zina, tetapi juga segala cara yang mengarah kepadanya, termasuk perselingkuhan emosional melalui pseudo-intimacy yang berkedok nostalgia reuni sekolah.
Ketika membuka grup alumni dan ingin membalas “Hai” kepada seseorang, maka berhentilah sejenak. Sebelum memutuskan untuk memindahkan obrolan ke kotak chat privat, atau sebelum membalas pesan yang sudah ada di dalamnya, coba ajukan tiga pertanyaan jujur ini kepada diri sendiri.
Pertama, “Apakah saya bersedia menunjukkan pesan ini kepada pasangan saya?” Jika jawabannya tidak, atau merasa tidak nyaman, maka itu adalah alarm bahaya pertama.
Kedua, “Apakah obrolan ini akan saya lakukan dengan sama mesra dan intensnya jika pasangan saya ada di samping saya?” Bayangan kehadiran pasangan yang akan segera mengembalikan kita kepada realitas komitmen.
Ketiga, “Apa yang benar-benar saya cari? Apakah ini hanya nostalgia, atau pelarian dari masalah pada hubungan saya yang sekarang?” Kejujuran menjawab ini akan mengungkap motivasi tersembunyi.
Dengan menjadikan pertanyaan tersebut sebagai ritual, maka tidak hanya melindungi komitmen, tetapi juga menghormati diri sendiri dan sejarah pertemanan yang telah dibangun. Refleksikan pada hati: Apakah ini hanya sapaan, ataukah awal dari sebuah perjalanan yang akan mengubah “Hai” menjadi “Sayangku” di balik layar yang gelap?
Pilihan ada di genggaman, sebelum jari mengetik pesan pertama ke inbox-nya. Pilihlah yang tidak hanya memuaskan rasa penasaran sesaat dan sesat, tetapi yang dapat menjaga martabat dan komitmen jangka panjang.



Komentar