Uncategorized
Beranda » Berita » Kripto, CBDC, dan Masyarakat Adaptif: Tantangan Bank Sentral di Era Disrupsi Finansial

Kripto, CBDC, dan Masyarakat Adaptif: Tantangan Bank Sentral di Era Disrupsi Finansial

Harry Yulianto
Harry Yulianto

Penulis : Harry Yulianto (Dosen STIE YPUP Makassar)

Perkembangan teknologi finansial (fintech) telah mengubah lanskap sistem keuangan global. Blockchain dan aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, serta stablecoin hadir sebagai alternatif dari sistem moneter tradisional. Kapitalisasi pasar kripto global yang telah mencapai $ 1,2 triliun pada 2023, mengalami volatilitas tinggi (CoinMarketCap, 2023).

Jasa Backlink

Fenomena tersebut memicu respons beragam. Di satu sisi, kripto dianggap sebagai instrumen inklusi keuangan bagi masyarakat unbanked; sedangkan di sisi lain, volatilitas dan risiko pencucian uang menjadi ancaman serius bagi stabilitas moneter (BIS., 2022).

Masyarakat, terutama generasi muda, semakin adaptif terhadap perubahan tersebut. Menjawab disrupsi tersebut, bank sentral di berbagai negara mulai mengembangkan Central Bank Digital Currency (CBDC). Seperti, Bank Indonesia yang telah memasuki tahap uji konsep Digital Rupiah sejak 2022.

Data Bank for International Settlements mencatat bahwa 130 negara sedang mengeksplorasi CBDC, dengan 11 negara (termasuk China melalui Digital Yuan) telah meluncurkan pilot project (BIS., 2022). CBDC diharapkan menjadi jembatan antara sistem keuangan tradisional dan digital, serta menjaga kedaulatan moneter dari dominasi aset kripto swasta (Kiff et al., 2020).

Witel Jatim Timur Serahkan Bantuan Application, Network & Device untuk Sekolah

Meskipun demikian, implementasi CBDC dan regulasi kripto menghadapi tantangan multidimensi. Pertama, bagaimana bank sentral dapat merancang regulasi yang tidak menghambat inovasi, namun tetap melindungi stabilitas sistem keuangan? Kedua, bagaimana meningkatkan literasi masyarakat agar mampu membedakan CBDC, kripto, dan uang digital konvensional? Ketiga, apakah kolaborasi antara otoritas moneter, fintech, dan masyarakat sipil dapat menciptakan ekosistem keuangan yang adaptif tanpa mengorbankan prinsip inklusi finansial dan keamanan data?

Revolusi Aset Kripto dan Dampaknya

Aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum telah merevolusi sistem keuangan global dengan teknologi blockchain yang menawarkan desentralisasi dan transparansi. Pada tahun 2023, kapitalisasi pasar kripto mencapai $ 1,2 triliun yang mengalami fluktuasi signifikan (CoinMarketCap, 2023).

Popularitas tersebut dipicu potensi keuntungan tinggi, seperti kenaikan harga Bitcoin sebesar 150% pada awal 2023 setelah turun sebesar 65% di tahun 2022 (Reuters., 2023). Bank for International Settlements menyebut fenomena ini sebagai “disrupsi finansial” yang menggeser paradigma uang konvensional, meski diiringi risiko volatilitas dan ketiadaan jaminan institusi (BIS., 2022).

Adopsi kripto masif terjadi di kalangan generasi muda dan investor ritel. Survei Bappebti (2021) mengungkapkan bahwa 62% investor kripto di Indonesia berusia 18-35 tahun, dengan motivasi utama mencari keuntungan jangka pendek.

Panggung Kebudayaan Masa: Refleksi Hari Buruh Internasional

Namun, studi Wahidah dan Agustina (2022) menemukan bahwa 68% responden tidak memahami konsep dasar blockchain atau risiko rugi akibat volatilitas. Kesenjangan literasi dapat memicu keputusan investasi emosional, seperti membeli meme coin tanpa analisis fundamental, yang berdampak terhadap kerugian finansial.

Volatilitas kripto menjadi ancaman serius bagi stabilitas keuangan individu dan sistemik. Pada November 2022, kolapsnya platform FTX menyebabkan kerugian investor global senilai $ 8 miliar (Chainalysis., 2023).

Selain itu, Badan PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan melaporkan bahwa 23% transaksi kripto global terkait pencucian uang, terutama melalui privacy coin seperti Monero (UNODC, 2022). Bank Indonesia (2023) juga mencatat bahwa 15% aliran modal asing ilegal ke Indonesia pada 2022 menggunakan kripto sebagai medium, sehingga mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah.

Di tengah potensi risiko, kripto tetap dipandang sebagai instrumen inklusi keuangan. El Salvador mengadopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran resmi pada 2021 untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS (IMF., 2021).

Namun, kebijakan ini menuai kritik karena 60% populasi tidak memiliki akses internet (World Bank., 2022). Di sisi lain, Uni Eropa merespons dengan Markets in Crypto-Assets Regulation (MiCA) pada tahun 2023 untuk melindungi konsumen dan mencegah penyalahgunaan (European Commission., 2023). Dualitas ini menunjukkan bahwa revolusi kripto memerlukan regulasi adaptif dan literasi masyarakat yang berimbang.

LSM PENJARA 1 Soroti Negara Gagal Amankan Keadilan Ekonomi: Keuntungan Triliunan dari Tambang Batubara Menguap ke Tangan Swasta

CBDC: Respons Bank Sentral atas Disrupsi Kripto

CBDC merupakan mata uang digital yang diterbitkan secara resmi oleh bank sentral suatu negara. Berbeda dengan aset kripto yang bersifat desentralisasi, CBDC dirancang untuk memperkuat kedaulatan moneter dan mengimbangi dominasi kripto swasta (BIS., 2022).

China yang meluncurkan Digital Yuan pada tahun 2020 sebagai upaya mengontrol aliran dana ilegal serta memoderasi penetrasi Bitcoin. Data BIS (2022) menunjukkan bahwa 93% bank sentral di 86 negara sedang mengeksplorasi CBDC, dengan 11 negara telah memasuki tahap uji coba. Hal ini membuktikan CBDC bukan hanya respons defensif, tetapi strategi transformasi sistem keuangan berbasis digital.

Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) mulai mengembangkan Digital Rupiah sejak 2022 sebagai bagian dari Indonesia Payment System Blueprint 2025. CBDC bertujuan meningkatkan efisiensi transaksi, mengurangi biaya cetak uang fisik, dan memperluas inklusi keuangan bagi 66 juta penduduk dewasa yang belum memiliki rekening bank (World Bank., 2022).

Project tersebut diarahkan untuk mencegah potensi ancaman kripto terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan teknis, seperti integrasi dengan sistem perbankan konvensional dan jaminan keamanan siber (Suryanto et al., 2022).

CBDC menawarkan solusi atas risiko volatilitas kripto. Nigeria yang meluncurkan eNaira pada tahun 2021 untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada stablecoin seperti USDT. Menurut laporan Central Bank of Nigeria (2022), sejumlah 48% pengguna eNaira sebelumnya adalah pengguna kripto yang beralih karena stabilitas nilai.

Namun, adopsi CBDC tidak menuai kesuksesan. Di Bahama, yang meluncurkan Sand Dollar pada 2020, hanya 7% populasi yang aktif menggunakan CBDC, karena keterbatasan edukasi dan infrastruktur internet (Kiff et al., 2020). Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan CBDC tergantung pada kesiapan infrastruktur digital dan literasi masyarakat.

Meskipun CBDC dianggap sebagai solusi, namun bank sentral perlu menghindari paradoks inovasi. Di satu sisi, CBDC harus bersaing dengan kripto yang menawarkan desentralisasi dan anonimitas. Di sisi lain, bank sentral wajib memastikan CBDC tidak menjadi alat pengawasan berlebihan (financial surveillance).

Studi IMF (2023) memperingatkan bahwa 65% masyarakat di negara berkembang menolak CBDC jika dikaitkan dengan pelacakan transaksi pribadi. Pertanyaannya, bagaimana bank sentral merancang CBDC yang memenuhi prinsip keamanan, privasi, dan inklusivitas tanpa mengorbankan kedaulatan moneter? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan relevansi CBDC di tengah gelombang disrupsi kripto.

Tantangan Bank Sentral pada Dualitas Kripto-CBDC

Bank sentral menghadapi dilema regulasi antara mengakomodasi inovasi kripto atau menjaga stabilitas sistem keuangan. Di Indonesia, transaksi kripto mencapai Rp 429,5 triliun pada tahun 2023 (Bappebti., 2023), tetapi belum ada regulasi yang komprehensif untuk melindungi investor. Sedangkan, proyek Digital Rupiah masih dalam tahap uji konsep, tertinggal dari perkembangan kripto yang masif (Bank Indonesia., 2023a).

Bank for International Settlements menegaskan, 78% bank sentral global kesulitan merancang regulasi yang seimbang antara risiko kripto dan potensi CBDC (BIS., 2022). Ketimpangan ini berisiko memicu regulatory arbitrage atau pelarian modal ke pasar kripto yang lebih longgar.

Privasi menjadi isu krusial dalam dualitas kripto-CBDC. Kripto (seperti Monero) menawarkan anonimitas, sedangkan CBDC memungkinkan bank sentral melacak transaksi untuk mencegah kejahatan. Survei European Central Bank mengungkapkan, 54% masyarakat Eropa menolak CBDC jika transaksi mereka sepenuhnya terpantau (European Central Bank., 2023).

Di sisi lain, laporan Chainalysis (2023) menunjukkan 30% aktivitas kripto di Asia Tenggara terkait transaksi ilegal. Bank sentral harus merancang CBDC dengan sistem privacy-by-design tanpa mengabaikan prinsip Know Your Customer (KYC) (Auer et al., 2022).

Inklusi keuangan menjadi tantangan multidimensi. Meskipun CBDC diharapkan menjangkau 1,4 miliar populasi unbanked global (World Bank., 2021), namun implementasinya terhambat infrastruktur digital yang timpang. Di Indonesia, 42% wilayah pedesaan belum terjangkau internet 4G (Kemenkominfo., 2023), menyulitkan akses Digital Rupiah.

Sedangkan, kripto justru diadopsi di daerah terpencil melalui jaringan peer-to-peer, seperti di Afrika Sub-Sahara dengan pertumbuhan pengguna kripto 1.200% sejak tahun 2021 (UNCTAD., 2023). Bank sentral perlu memastikan CBDC tidak hanya menjadi solusi urban-centric, tetapi juga mampu bersaing dengan kripto di daerah marginal.

Koordinasi kebijakan antarnegara dan antarlembaga adalah kunci mengatasi dualitas. Uni Eropa menerapkan Markets in Crypto-Assets Regulation (MiCA) pada 2023 untuk menyelaraskan regulasi kripto dan persiapan CBDC (European Commission., 2023).

Di tingkat global, belum ada kesepakatan standar interoperabilitas CBDC. Studi Didenko dan Buckley (2021) menyoroti risiko fragmentasi sistem keuangan jika CBDC tiap negara tidak terintegrasi. Oleh karena itu, bank sentral harus memperkuat kolaborasi dengan lembaga multilateral (seperti IMF dan BIS) untuk menciptakan kerangka regulasi yang adaptif dan inklusif.

Masyarakat Adaptif: Kunci Sukses Transisi Digital

Tingkat literasi digital masyarakat menjadi fondasi utama dalam transisi sistem keuangan berbasis teknologi. Survei Kemenkominfo (2023) menunjukkan, hanya 65% penduduk Indonesia yang memahami konsep dasar transaksi digital, sedangkan 35% masih belum melek teknologi (digital illiterate).

Padahal, adopsi Digital Rupiah dan platform fintech memerlukan pemahaman tentang keamanan siber, manajemen data, dan mekanisme transaksi virtual. Studi Widyastuti dan Susanto (2023) menemukan bahwa masyarakat dengan literasi digital tinggi cenderung 2,3 kali lebih adaptif terhadap inovasi keuangan seperti CBDC, jika dibandingkan kelompok rendah literasi.

Infrastruktur digital yang merata adalah prasyarat terciptanya masyarakat adaptif. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mencatat, 78% penduduk perkotaan telah terjangkau internet, tetapi di pedesaan angka ini hanya 48% (APJII., 2023).

Ketimpangan tersebut menghambat implementasi CBDC dan memperlebar kesenjangan inklusi keuangan. Di Nigeria, kegagalan eNaira mencapai target pengguna yang disebabkan 40% populasi pedesaan tidak memiliki akses listrik stabil (World Bank., 2022). Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas lokal diperlukan untuk membangun infrastruktur pendukung, seperti jaringan internet dan pusat edukasi teknologi di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).

Peran generasi muda sebagai agent of change tidak bisa diabaikan. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa 53% populasi Indonesia berusia di bawah 30 tahun, dengan 88% aktif menggunakan smartphone (BPS., 2023).

Potensi ini bisa dimaksimalkan melalui program edukasi berbasis platform digital, seperti gamifikasi literasi keuangan atau webinar interaktif. Bank Indonesia (2023a) melaporkan bahwa kampanye yang melibatkan influencer muda berhasil meningkatkan pemahaman publik tentang Digital Rupiah sebesar 27% dalam 6 bulan. Namun, partisipasi kelompok lansia dan UMKM tradisional yang masih rendah, menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif (Nugroho & Prasetyo, 2023).

Adaptasi masyarakat harus diiringi dengan kebijakan responsif dari otoritas. Seperti, Singapura menerapkan Digital Readiness Blueprint yang menggabungkan pelatihan keterampilan digital, subsidi perangkat teknologi, dan insentif bagi UMKM yang bertransisi ke sistem digital (Monetary Authority of Singapore., 2023). Hasilnya, 92% UMKM di Singapura telah menggunakan pembayaran digital.

Di Indonesia, langkah serupa bisa diakselerasi dengan memperkuat sinergi antara OJK, fintech, dan lembaga pendidikan. Transisi digital hanya berhasil jika masyarakat tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga bagian dari ekosistem inovasi yang berkelanjutan (Darmawan et al., 2023).

Membangun Ekosistem Finansial Adaptif

Dinamika ekonomi digital menuntut terciptanya ekosistem finansial yang adaptif, di mana kolaborasi antara bank sentral, pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi kunci. Data Bank for International Settlements menunjukkan, 89% negara dengan proyek CBDC aktif melibatkan sektor swasta dalam pengembangan infrastruktur teknis (BPS., 2023).

Di Indonesia, sinergi Bank Indonesia dengan 15 fintech lokal pada uji coba Digital Rupiah telah meningkatkan kepercayaan publik sebesar 34% (OJK., 2023). Namun, tantangan seperti kesenjangan literasi dan infrastruktural dapat menjadi penghambat inklusi finansial, terutama di daerah 3T yang hanya 52% warganya memiliki akses ke perbankan digital (BPS., 2023).

Pendidikan finansial berbasis teknologi adalah pilar utama untuk membentuk masyarakat adaptif. Program Smart Citizen Initiative di Korea Selatan, berhasil meningkatkan literasi ekonomi generasi muda sebesar 41% dalam waktu 2 tahun melalui kurikulum gamifikasi dan simulasi investasi (Kim & Lee, 2022).

Kementerian Pendidikan perlu mengintegrasikan materi CBDC dan kripto dalam pembelajaran, karena masih banyak pelajar (terutama jenjang menengah atas) yang belum memahami konsep dasar blockchain. Bank sentral juga harus memperkuat kampanye melalui platform daring, mengikuti kesuksesan Bank Thailand yang menggunakan TikTok untuk edukasi CBDC dengan jangkauan 2 juta views per bulan (Bank of Thailand., 2023).

Ke depan, ekosistem finansial adaptif harus dibangun dengan prinsip keberlanjutan dan inklusivitas. Menurut proyeksi World Economic Forum (2023), 70% transaksi global akan berbasis digital pada tahun 2030, dengan CBDC dan kripto sebagai komponen utama.

Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat pemerataan infrastruktur 5G, yang saat ini baru mencakup 30% wilayah Indonesia (Kemenkominfo., 2023), serta memperluas insentif bagi UMKM yang bertransisi ke pembayaran digital. Keberhasilan transformasi ini bergantung pada kemampuan seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan masyarakat bukan hanya objek kebijakan, tetapi mitra aktif dalam inovasi ekonomi (Andriana et al., 2023).

Dinamika disrupsi finansial mempertegas bahwa kolaborasi antara bank sentral dan masyarakat adaptif tidak bisa ditawar lagi. Refleksi atas tantangan kripto, CBDC, dan kesenjangan literasi menunjukkan bahwa inovasi kebijakan moneter harus diiringi peningkatan kesiapan infrastruktur dan pendidikan ekonomi berbasis digital.

Upaya konkret perlu diwujudkan, seperti mempercepat integrasi kurikulum blockchain di jenjang pendidikan menengah dan tinggi, memperluas jaringan 5G hingga daerah 3T, serta membentuk forum kolaborasi antara otoritas, fintech, dan komunitas lokal. Pada akhirnya, masa depan ekonomi digital bukan hanya tentang teknologi, tetapi tentang manusia yang melek, kritis, dan responsif.

Seperti kata pepatah, “Masyarakat yang terdidik merupakan fondasi negara yang tangguh”, bank sentral dan smart citizen harus berkolaborasi membangun fondasi tersebut, karena stabilitas ekonomi adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya monopoli institusi.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement