Kolom
Beranda » Berita » Sertifikasi Kompetensi: Game Changer Akademisi di Era VUCA

Sertifikasi Kompetensi: Game Changer Akademisi di Era VUCA

Sertifikasi Kompetensi oleh Harry Yulianto

Penulis : Harry Yulianto (Akademisi STIE YPUP Makassar)

Jasa Pembuatan Buku

Pada beberapa dekade terakhir, pendidikan tinggi sering kali lebih menekankan pencapaian gelar akademik jika dibandingkan dengan penguasaan keterampilan praktis. Fenomena tersebut mengarah pada lulusan perguruan tinggi yang kurang siap menghadapi dunia kerja karena hanya mengandalkan gelar akademik tanpa memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri. Menurut laporan World Economic Forum (2020) dalam The Future of Jobs Report, sekitar 42% pekerjaan di masa depan akan membutuhkan kompetensi baru yang tidak selalu diajarkan pada lingkungan akademik tradisional.

Perkembangan teknologi yang pesat, semakin memperjelas kesenjangan antara teori akademik dan realitas industri. Digitalisasi dan otomatisasi telah mengubah lanskap dunia kerja, sehingga menuntut individu untuk memiliki keahlian yang lebih spesifik, seperti literasi digital, analisis data, dan keterampilan berpikir kritis, seperti yang diungkap oleh McKinsey & Company (2021) dalam Digital Transformation in Education: The Future of Teaching and Learning. Namun, banyak lulusan perguruan tinggi yang masih mengandalkan gelar akademik saja sebagai jaminan untuk mendapatkan pekerjaan, tanpa membekali diri dengan keterampilan professional yang relevan.

Human Capital Theory yang dikemukakan oleh Becker (1993) dalam Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education, menyatakan bahwa investasi dalam keterampilan dan kompetensi memiliki dampak lebih besar terhadap produktivitas, apabila dibandingkan hanya memiliki gelar akademik. Sertifikasi kompetensi dapat dianggap sebagai bentuk investasi berupa modal manusia sesuai dengan kebutuhan di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), menggambarkan kondisi dunia yang semakin dinamis dan sulit diprediksi. Perubahan cepat dalam teknologi dan kebutuhan pasar kerja menuntut akademisi untuk tidak hanya mengandalkan pengetahuan teoretis, tetapi juga mengembangkan keterampilan praktis yang relevan.

Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Kabia (2012) dalam Contributions of Professional Certification and Information Technology Work Experience to Self-Reported Job Performance, yang menyatakan bahwa perusahaan lebih mengutamakan kandidat dengan sertifikasi kompetensi dan pengalaman praktis, jika dibandingkan dengan sekadar lulusan berprestasi secara akademik. Selain itu, pengalaman kerja maupun sertifikasi memiliki korelasi positif terhadap tingkat kompetensi dalam pekerjaan. Artinya kombinasi keduanya lebih bernilai, jika dibandingkan dengan hanya mengandalkan pencapaian akademik​. Perusahaan pada umumnya menerapkan Theory of Planned Behavior dari Ajzen (1985), ketika memilih kandidat, dan sertifikasi kompetensi dipertimbangkan sebagai indikator keterampilan dan kesiapan kerja, apabila dibandingkan hanya mengandalkan ijazah akademik. Bagi perusahaan, merekrut tenaga kerja dengan hal tersebut dapat membantu untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya pelatihan internal​.

Makanan Bergizi dari Kacang-Kacangan: Pilihan Camilan Sehat untuk Tubuh

Perguruan tinggi perlu melakukan transformasi pendidikan yang lebih berorientasi pada kompetensi dan keterampilan praktis. Selain itu, juga perlu mengintegrasikan program sertifikasi kompetensi dan pelatihan keterampilan praktis untuk memastikan lulusannya tidak hanya memiliki gelar akademik saja, tetapi juga kompetensi yang dapat diandalkan dalam menghadapi tantangan di era teknologi yang terus berkembang.

Relevansi sertifikasi kompetensi bagi akademisi

Di era globalisasi dan disrupsi teknologi, perdebatan antara pentingnya kompetensi versus gelar akademik semakin relevan. Menurut McClelland (1973) dalam Testing for competence rather than for intelligence, kompetensi lebih menentukan kinerja seseorang dibandingkan dengan sekadar pencapaian akademik. Gelar akademik memang menjadi tolok ukur kemampuan teoretis maupun keilmuan seseorang, namun di era yang semakin kompetitif, penguasaan keterampilan praktis menjadi kunci utama dalam mencapai kesuksesan professional bagi individu.

Pada konteks pendidikan tinggi, akademisi sering kali diukur dari pencapaian akademik saja, seperti gelar akademik ataupun publikasi ilmiah. Namun, di era yang ditandai dengan volatilitas dan kompleksitas, keterampilan adaptif dan keahlian praktis lebih diapresiasi oleh industri dan institusi pendidikan berskala global. Menurut laporan World Economic Forum (2020), 50% tenaga kerja global memerlukan reskilling dan upskilling untuk menghadapi perubahan lanskap pekerjaan yang dinamis.

Sertifikasi kompetensi dapat menjadi kredibilitas bagi akademisi untuk melengkapi gelar dengan keterampilan yang lebih aplikatif. Sertifikasi yang diakui secara internasional maupun nasional, seperti dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) ataupun lembaga Hal tersebut yang kredibel lainnya, dapat memberikan validasi dan kredensial terhadap kompetensi seseorang di bidangnya. Akademisi di era VUCA tidak cukup hanya mengandalkan gelar akademik, namun juga perlu melengkapi diri dengan kompetensi yang relevan dan diakui secara global, agar tetap kompetitif di dunia pendidikan dan industri.

Perubahan cepat pada teknologi dan kebutuhan pasar kerja menuntut akademisi untuk tidak hanya mengandalkan pengetahuan teoretis, tetapi juga mengembangkan keterampilan praktis yang relevan. Hal ini sejalan dengan pendapat Azhro et al. (2023) dalam Tantangan Pendidikan Tinggi Menghadapi Perkembangan Teknologi Digital dalam Era VUCA, yang menyatakan bahwa perguruan tinggi harus menyiapkan generasi muda dengan hard skills dan soft skills yang sesuai dengan tantangan zaman.

Tips Memilih Sepatu Marathon yang Sesuai untuk Menunjang Kenyamanan dan Performa

Untuk beradaptasi dengan tantangan tersebut, akademisi perlu mempertimbangkan perolehan sertifikasi kompetensi sebagai langkah strategis. Sertifikasi tidak hanya menambah kredibilitas, tetapi juga memastikan bahwa mereka memiliki kompetensi yang diakui secara industri. Selain itu, pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan kolaborasi dengan industri menjadi penting dalam kurikulum pendidikan tinggi. Hal ini memungkinkan akademisi untuk terlibat langsung dalam pemecahan masalah nyata, sehingga meningkatkan kemampuan adaptasi dan inovasi mereka. Studi Arvianto et al. (2023) dalam Menyiapkan Mahasiswa Abad 21 Menghadapi Era VUCA Melalui Pendekatan Berbasis Pengalaman menyatakan bahwa kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri dapat meningkatkan kualitas pendidikan yang relevan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.

Dengan mengintegrasikan sertifikasi kompetensi dan pendekatan pembelajaran yang adaptif, maka akademisi dapat lebih siap menghadapi tantangan era VUCA. Langkah strategis ini tidak hanya meningkatkan kompetensi individu, tetapi juga memastikan lulusan perguruan tinggi memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Hal tersebut menjadi salah satu strategi efektif bagi akademisi untuk tetap relevan dan kompetitif di tengah ketidakpastian global.

Tantangan akademisi tanpa sertifikasi kompetensi

Di era VUCA, akademisi dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks, karena dituntut untuk tidak hanya menguasai pengetahuan teoretis, tetapi juga memiliki kompetensi praktis yang relevan dengan perkembangan industri dan teknologi. Sertifikasi kompetensi menjadi salah satu bentuk konkret untuk memastikan akademisi memiliki keterampilan yang diakui dan sesuai dengan standar industri. Namun, bagi akademisi yang tidak memiliki Hal tersebut, terdapat beberapa tantangan.

Pertama, tanpa sertifikasi kompetensi, kredibilitas seorang akademisi di bidang tertentu mungkin dipertanyakan. Sertifikasi sering kali dianggap sebagai bukti kompetensi dan komitmen terhadap pengembangan profesional berkelanjutan. Tanpa sertifikasi, akademisi mungkin dianggap kurang kompeten atau tidak mengikuti perkembangan terbaru di bidangnya. Hal ini dapat memengaruhi persepsi mahasiswa, kolega, dan institusi terhadap kemampuan, kapasitas dan keahliannya.

Kedua, ketiadaan sertifikasi kompetensi dapat membatasi peluang kolaborasi dengan industri. Beberapa aktivitas penelitian dan pengembangan yang melibatkan kerja sama antara akademisi dan praktisi industri yang mensyaratkan sertifikasi keahlian tertentu sebagai indikator kompetensi. Tanpa sertifikasi kompetensi, akademisi mungkin kehilangan kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas tersebut, sehingga dapat membatasi akses mereka terhadap sumber daya, pendanaan, maupun jaringan profesional yang lebih luas.

10 Kesalahan Umum dalam Fitness yang Harus Dihindari untuk Hasil Maksimal

Ketiga, pada konteks pengajaran, akademisi tanpa sertifikasi kompetensi mungkin kurang mampu memberikan perspektif praktis yang relevan kepada mahasiswa. Sertifikasi sering kali mencakup pelatihan dan evaluasi yang berfokus pada aplikasi praktis dari pengetahuan teoretis. Tanpa kemampuan tersebut, akademisi mungkin kesulitan menghubungkan teori dengan praktik, yang dapat memengaruhi efektivitas pengajaran dan kesiapan mahasiswa untuk memasuki dunia kerja.

Keempat, dari perspektif pengembangan karir, tidak memiliki sertifikasi kompetensi dapat menjadi hambatan dalam proses promosi atau pengakuan profesional. Banyak institusi pendidikan tinggi maupun organisasi profesional yang mempertimbangkan sertifikasi kompetensi sebagai salah satu kriteria utama dalam evaluasi kinerja dan kelayakan untuk promosi. Tanpa sertifikasi, akademisi mungkin menghadapi kesulitan dalam mencapai posisi atau peran yang lebih tinggi pada institusinya maupun karir profesionalismenya.

Meskipun sertifikasi kompetensi bukan satu-satunya indikator kompetensi, tetapi ketiadaannya dapat memberikan dampak signifikan bagi akademisi pada berbagai aspek profesionalisme. Oleh karena itu, penting bagi akademisi untuk mempertimbangkan perolehan sertifikasi kompetensi yang relevan sebagai bagian dari strategi untuk pengembangan jenjang profesionalitasnya.

Sertifikasi kompetensi sebagai game changer akademisi

Theory of innovation and organizational change yang dikemukakan oleh Christensen (1997) dalam The Innovator’s Dilemma menjelaskan bahwa game changer sebagai salah satu determinan yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif baru dan merubah struktur yang sudah ada. Inovasi disruptif yang dihasilkan dari sertifikasi kompetensi memungkinkan akademisi untuk beradaptasi dengan perubahan tuntutan industri dan memperkuat relevansinya pada lingkungan akademik yang dinamis. Sertifikasi kompetensi tidak hanya menjadi instrumen validasi keterampilan praktis, tetapi juga sebagai sarana strategis untuk memastikan akademisi tetap memiliki daya saing yang tinggi.

Sertifikasi kompetensi dapat dianggap sebagai inovasi disruptif karena mengubah paradigma tradisional yang hanya mengandalkan gelar akademik sebagai ukuran kemampuan seseorang. Namun, dengan meningkatnya kebutuhan industri dan perkembangan teknologi terhadap keterampilan praktis, sertifikasi kompetensi sebagai strategic path bagi akademisi untuk membuktikan keahlian profesionalisme mereka, bahkan melampaui batasan yang ada di sistem pendidikan formal. Hal tersebut dapat membuat sertifikasi kompetensi sebagai game changer pada ekosistem akademik, karena memungkinkan akademisi lebih relevan dan siap menghadapi dinamika perubahan global.

Sertifikasi kompetensi juga mendorong akademisi untuk terus up-to-date pengetahuan, keilmuan serta keterampilannya melalui inovasi berkelanjutan (sustaining innovation) dan inovasi disruptif (disruptive innovation). McKinsey & Company (2021) dalam Digital Transformation in Education: The Future of Teaching and Learning menekankan bahwa perkembangan teknologi menuntut transformasi dalam metode pembelajaran di pendidikan tinggi. Akademisi yang memiliki Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak hanya mengandalkan pengetahuan dan keilmuan, tetapi juga terus adaptif kemampuannya sesuai dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut berperan untuk memastikan bahwa akademisi tetap relevan dalam menghadapi tantangan perubahan cepat dan kompleksitas tinggi.

Sertifikasi kompetensi sebagai bentuk validasi profesional yang memberikan rekognisi atas keterampilan dan keahlian akademisi. Di era VUCA, di mana perubahan terjadi dengan cepat dan tidak dapat diprediksi, akademisi yang memiliki sertifikasi kompetensi lebih agile menghadapi dinamika tersebut. Hal tersebut tidak hanya menegaskan keahlian teknis, namun juga menunjukkan bahwa akademisi memiliki kemampuan adaptabilitas serta integritas terhadap standar profesional yang tinggi. Hal tersebut merupakan strategi yang efektif bagi akademisi untuk meningkatkan daya saing dan relevansinya di dunia akademik maupun industri.

Seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Sertifikasi kompetensi menjadi bagian dari ekosistem pendidikan yang lebih luas, sehingga memungkinkan akademisi untuk tetap unggul di dunia yang terus berkembang. Jika perubahan merupakan suatu keniscayaan, apakah Anda siap untuk mengambil langkah maju dan memastikan kompetensi Anda tetap relevan di era ini?

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement