Oleh: Harry Yulianto (Dosen STIE YPUP Makassar)
Idul Adha tidak hanya ritual kurban, tetapi momentum refleksi tentang makna pengorbanan, ketaatan, dan tanggung jawab. Bagi akademisi, peringatan hari raya ini dapat menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi peran mereka yang tidak hanya sebagai pendidik dan peneliti, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Pada konteks ini, keteladanan Nabi Ibrahim AS (dengan keteguhannya menjalankan perintah Allah Ta’ala, keberaniannya menantang kebatilan, serta kesediaannya berkorban) menjadi relevan untuk disintesiskan pada dunia akademik yang penuh dinamika.
Di tengah tantangan global (seperti disinformasi, krisis moral keilmuan, dan tekanan kapitalisasi pendidikan), nilai-nilai yang diwariskan Nabi Ibrahim justru bisa menjadi navigator bagi akademisi. Bagaimana seorang ilmuwan harus bersikap ketika dihadapkan pada dilema antara mempertahankan kebenaran ilmiah atau tunduk pada kepentingan pragmatis? Di sinilah kisah pengorbanan Ismail dan keteguhan Nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah Allah Ta’ala, dapat memberikan perspektif spiritual maupun etis.
Tulisan ini mengajak pembaca, khususnya civitas akademika, untuk merefleksikan kembali posisi mereka. Sejauh mana dunia perguruan tinggi telah menjadi ruang yang mensintesiskan ketakwaan dan tanggung jawab intelektual? Dengan berlandaskan pada makna dan nilai-nilai Idul Adha, kita bisa mengeksplorasi bagaimana spirit pengorbanan dan keikhlasan Nabi Ibrahim AS dapat diaktualisasikan dalam praktik Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat).
Nilai Keteladanan Nabi Ibrahim AS yang Relevan bagi Akademisi
Nabi Ibrahim AS merupakan simbol ketaatan tanpa syarat kepada kebenaran, sebagaimana tercermin dalam pengorbanannya menyembelih Ismail (QS. As-Saffat: 102). Pada konteks dunia akademik, ketaatan ini dapat dimaknai sebagai komitmen terhadap kejujuran ilmiah, yakni menolak plagiarisme, manipulasi data, atau penelitian yang hanya mengejar popularitas untuk jabatan akademik. Seorang akademisi sejati harus meneladani Nabi Ibrahim AS, teguh memegang prinsip kebenaran meskipun menghadapi tekanan. Rasulullah SAW juga bersabda: “Sampaikanlah kebenaran meski pahit” (HR. Ibnu Majah), yang relevan dengan tanggung jawab intelektual untuk menyuarakan fakta tanpa takut pada otoritas atau kepentingan pragmatis.
Selain ketaatan, nilai pengorbanan (kurban) juga menjadi pelajaran penting. Pengorbanan pada konteks akademik tidak selalu berarti materi, tetapi juga waktu, tenaga, dan ego. Misalnya, seorang dosen yang rela menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk penelitian yang berdampak bagi masyarakat, meskipun kurang atau tidak mendatangkan keuntungan finansial besar. Atau, mahasiswa yang memilih tema riset berbasis solusi sosial dibandingkan hanya mengejar tren popularitas semata.
Ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa mengutamakan (ridha Allah) atas keinginan hawa nafsunya, maka surga adalah tempat tinggalnya” (QS. An-Nazi’at: 40-41).
Nabi Ibrahim AS juga mengajarkan pendekatan rasional dan kritis dalam menyampaikan kebenaran. Dalam QS. Al-An’am: 74-79, beliau menggunakan logika untuk mendebat penyembahan berhala. Ini menjadi teladan bagi akademisi untuk tidak hanya mengikuti arus informasi dan pragmatis, tetapi berani mengkritisi narasi yang keliru, seperti pada isu politik, sains, atau sosial. Hadis “Carilah ilmu sampai ke negeri China” (HR. Baihaqi) bukan hanya anjuran menuntut ilmu, tetapi menjadi dorongan untuk berpikir kritis dan terbuka terhadap perspektif baru.
Kepemimpinan dan tanggung jawab sosial Nabi Ibrahim AS tercermin dalam perannya sebagai pembangun peradaban (Kabah) dan penegak keadilan. Akademisi, sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, memiliki tanggung jawab serupa (tidak hanya mengajar dan meneliti), tetapi juga mengabdikan ilmu bagi masyarakat. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad). Pada konteks ini, Idul Adha mengingatkan bahwa ilmu tanpa amal adalah kesia-siaan, dan pengorbanan terbesar seorang akademisi adalah ketika ilmunya benar-benar menjadi cahaya bagi umat.
Tantangan Akademisi di Era Kontemporer
Di tengah derasnya arus informasi dan tuntutan produktivitas, akademisi di era kontemporer menghadapi dilema antara integritas dan pragmatisme. Sistem akademik yang sering kali diukur melalui kuantitas publikasi (publish or perish) tanpa mempertimbangkan dampak nyata, sehingga berpotensi menggeser nilai-nilai kejujuran ilmiah. Allah Ta’ala mengingatkan dalam QS. Al-Baqarah: 42, “Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” Ini menjadi teguran bagi para akademisi yang tergoda memanipulasi data atau meneliti hanya untuk memenuhi target administratif semata.
Selain itu, dunia akademik juga dihadapkan pada krisis keberpihakan, apakah ilmu pengetahuan harus netral atau justru membela kepentingan masyarakat yang tertindas? Nabi Ibrahim AS memberikan contoh tegas ketika berani menentang penguasa zalim (QS. Al-Anbiya: 51-70), menunjukkan bahwa kebenaran ilmiah harus berpihak pada keadilan. Rasulullah SAW juga bersabda, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaan), jika tidak mampu maka dengan lisannya (kritik), dan jika tidak mampu maka dengan hatinya (penolakan batin).” (HR. Muslim). Akademisi, dengan otoritas keilmuannya, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi penjaga kebenaran di tengah masyarakat.
Terdapat gap antara menara gading akademisi dengan realitas sosial. Banyak penelitian yang hanya berakhir di jurnal-jurnal elit tanpa menyentuh akar persoalan masyarakat. Padahal, Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Ali Imran: 110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” Ini seharusnya mendorong perguruan tinggi untuk lebih aktif merespon masalah riil (seperti kemiskinan, ketimpangan pendidikan, atau krisis lingkungan), sebagai bentuk pengabdian yang selaras dengan spirit kurban Idul Adha, yakni: pengorbanan ilmu untuk kemaslahatan umat.
Sintesis Makna Idul Adha dalam Praktik Akademik
Idul Adha mengajarkan bahwa pengorbanan bukan hanya ritual simbolik, melainkan tindakan nyata untuk kemaslahatan bersama. Pada konteks akademik, hal ini dapat diwujudkan melalui “kurban ilmu”, yakni mendarmabaktikan pengetahuan kepada masyarakat yang membutuhkan. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Ashr: 1-3, “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” Ayat ini mengingatkan kepada akademisi bahwa ilmu yang tidak diamalkan hanya akan menjadi beban di akhirat, bukan pahala. Pengabdian masyarakat melalui program desa binaan, pelatihan atau penyuluhan kepada masyarakat merupakan bentuk konkret kurban intelektual di era modern.
Kejujuran akademik juga merupakan wujud ibadah yang sering dilupakan. Dalam QS. Al-Ahzab: 70, Allah Ta’ala memerintahkan, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” Ini mencakup penolakan terhadap plagiarisme, pemalsuan data, atau riset yang tidak etis, di mana praktik yang justru semakin marak di tengah tekanan publikasi ilmiah. Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan, “Barangsiapa menipu, maka ia bukan dari golonganku” (HR. Muslim). Pada konteks ini, spirit Idul Adha mengajak akademisi untuk membersihkan niat dan bekerja dengan transparansi, sebagaimana Nabi Ibrahim AS yang tulus menjalankan perintah Allah Ta’ala meskipun harus mengorbankan yang dicintai.
Nilai kepemimpinan berbasis keteladanan harus menjadi ruh dalam setiap aktivitas kampus. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS dikenal sebagai “Sang Peletak Fondasi Tauhid” yang mengajak umat kepada jalan lurus, akademisi pun dituntut menjadi pionir perubahan. QS. Al-Baqarah: 124 menegaskan, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu pemimpin bagi seluruh manusia.” Ini relevan dengan peran dosen, peneliti, atau mahasiswa dalam membangun kampus yang berkarakter, yakni: mengutamakan diskusi substantif dibandingkan perdebatan kosong tanpa makna dan dampak, memupuk empati melalui aksi sosial, serta meneladani sikap rendah hati meskipun menguasai banyak ilmu. Idul Adha bukan hanya ritual seremonial tahunan, melainkan inspirasi abadi untuk melakukan sintesis keimanan dan tanggung jawab keilmuan.
Menjadi Akademisi yang Berkurban untuk Peradaban
Idul Adha mengajarkan kita bahwa esensi pengorbanan bukan terletak pada darah dan daging hewan kurban, melainkan pada ketulusan hati dan komitmen untuk berbagi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-Hajj: 37, “Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang akan sampai kepada-Nya.” Begitu juga pada dunia akademik, gelar dan publikasi yang gemilang tidak akan bermakna tanpa ketakwaan intelektual, yakni keikhlasan dalam mencari kebenaran, keberanian menyuarakan keadilan, dan kesediaan mengabdi untuk masyarakat. Inilah kurban sejati yang dituntut dari seorang akademisi muslim di zaman modern.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh dengan berlatih bersikap santun. Barangsiapa mencari kebaikan, niscaya akan diberikan kepadanya.” (HR. Al-Baihaqi). Hadis ini mengingatkan kita bahwa proses keilmuan harus sejalan dengan pembentukan karakter. Seorang akademisi yang meneladani Nabi Ibrahim AS tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga rendah hati dalam menyampaikan ilmu, sabar dalam menghadapi kritik, serta gigih dalam memperjuangkan kebenaran. Inilah sosok cendekiawan yang mampu menjadi “penerang umat”, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Orang berilmu adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud).
Mari jadikan momentum Idul Adha sebagai titik tolak untuk merevitalisasi peran akademisi sebagai agen perubahan. Dengan merujuk QS. Ali Imran: 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,” kita diingatkan bahwa tanggung jawab intelektual sebagai bagian dari dakwah. Semoga perguruan tinggi kita mampu melahirkan generasi yang tidak hanya pandai berkurban dengan kata-kata retoris, tetapi juga berani berkurban dengan karya nyata, ilmu yang membebaskan, penelitian yang memanusiakan, serta pengabdian yang mencerahkan. Selamat Idul Adha, semoga semangat pengorbanan Nabi Ibrahim AS selalu menyala dalam setiap denyut nadi akademik kita.
Komentar